Pengertian Ragam dan Variasi Bahasa Indonesia
Kita ketahui bahwa tidak ada masyarakat yang seragam, demikian pula halnya tidak ada hidup yang seragam. Keanekaragaman dalam pemakaian bahasa itulah yang merupakan perwujudan adanya variasi-variasi bahasa.
Variasi-variasi bahasa dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi diakronis dan segi sinkronis
Dari segi diakronis, dapat kita bedakan tahap-tahap perkembangan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Contohnya ialah bahasa Melayu Sriwijaya dan bahasa Melayu Klasik, masing-masing merupakan variasi historis bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Dari segi sinkronis, variasi bahasa dapat dilihat pada dimensi daerah (geografis), dimensi sosial, dimensi psikis dan fisik penutur, dimensi kebutuhan, dan dimensi yang menyangkut pembicara, tempat berbicara, bidang pembicaraan, suasana/situasi pembicaraan, dsb.
Variasi-variasi bahasa yang timbul karena perbedaan asal penuturnya disebut dialek geografis (dialek regional). Sedangkan variasi bahasa yang disebabkan oleh perbedaan kelas sosial penuturnya disebut dialek sosial atau sosiolek (Sawito, 1983:24). Misalnya bahasa Indonesia dialek Ambon, bahasa Indonesia dialek Minahasa, bahasa Indonesia dialek Jakarta, dsb.
Pemakaian bahasa yang menimbulkan variasi menurut kelas sosial dalam masyarakat disebut dialek sosial. Misalnya bahasa yang digunakan di kalangan anak-anak berbeda dengan bahasa yang digunakan di kalangan orang dewasa; bahasa yang digunakan di kalangan orang-orang yang tidak berpendidikan, baik antarmereka maupun antarkelas atau golongan.
Setiap penutur mempunyai sifat-sifat khas, baik yang disebabkan faktor fisik maupun psikis yang dimiliki oleh orang lain. Sifat-sifat khas yang disebabkan oleh faktor fisik, misalnya karena perbedaan bentuk atau kualitas alat-alat tuturnya (bibir, gigi, lidah, selaput suara, rongga mulut, rongga hidung, dsb). Sedangkan sifat-sifat khas yang disebabkan oleh faktor psikis, misalnya perbedaan waktu, tempat intelegensia dan sikap mental yang lain. Variasi-variasi yang ditimbulkan oleh sifat khas, baik disebabkan oleh fisik maupun psikis dikenal dengan istilah idiolek.
Ragam Bahasa Media
Didalam media, misalnya surat kabar dapat kita jumpai berbagai jenis tulisan antara lain: berita tentang kekeringan, gosip, tajuk rencana, iklan, dan lain-lain, masing-masing menggunakan pengungkapan bahasa yang berbeda-beda sesuai dengan sifat -sifat khas kebutuhan pemakainya. Perlu diingat bahwa bahasa berita biasa berbeda dengan bahasa ulasan, bahasa ulasan berbeda dengan bahasa iklan, bahasa iklan berbeda dengan bahasa tajuk, bahasa tajuk berbeda dengan bahasa kritik dan koreksi. Variasi-variasi bahasa yang disebabkan oleh sifat-sifat khas kebutuhan pemakainya seperti diatas, dikenal dengan istilah register.
Ragam Bahasa dalam Masyarakat
Selanjutnya, pemakaian bahasa yang berlangsung antara teman-teman sejawat, antara kepala sekolah (pimpinan dan bawahan) dalam suatu pertemuan resmi, dan antara teman-teman karib yang berlangsung di pinggir jalan atau di warung menunjukkan pula perbedaan-perbedaan pemakaian bahasa. Perbedaan tersebut dapat diamati dari segi pembicaraan, tempat berbicara, pokok atau hal yang dibicarakan, suasana/situasi pembicaraan. Pemakaian bahasa yang dilihat dari segi ini menimbulkan berbagai variasi bahasa yang biasanya disebut dengan istilah ragam bahasa.
Ragam bahasa muncul dalam masyarakat sesuai dengan fungsi dan sifatnya. Antara fungsi dan situasi pemakaian bahasa sangat erat hubungannya, sebab kita harus memilih ragam bahasa yang akan difungsikan serta memilih suatu topik pembicaraan yang harus disesuaikan dengan situasi yang ada.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ragam bahasa adalah suatu patokan yang dipergunakan untuk menentukan salah satu variasi bahasa yang ada dan timbul karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi yang serasi dengan konteks sosial.
Seperti telah dipaparkan pada bagian terdahulu bahwa ragam bahasa dibedakan berdasarkan fungsi, situasi/suasana, tempat berbicara, pokok pembicaraan serta pembicaranya sendiri. Ditilik dari segi ini, dapatlah kita kelompokkan, menjadi: (1) ragam ringkas dan ragam lengkap; (2) ragam lisan dan ragam tulisan, dan (3) ragam baku dan ragam takbaku.
Ragam Bahasa Ringkas dan Ragam Bahasa Lengkap
Ragam bahasa ringkas ialah penutur bahasa biasanya menggunakan kalimat-kalimat pendek, kata-kata dan ungkapan yang maknanya hanya dipahami dengan jelas oleh peserta percakapan itu. Ragam bahasa ini digunakan dalam suasana akrab (santai). Sedangkan ragam lengkap ialah penutur bahasa biasanya menggunakan kalimat-kalimat panjang, pilihan kata dan ungkapan sesuai dengan tuntutan kaidah bahasa yang benar. Ragam bahasa ini digunakan dalam situasi resmi, seperti dalam pidato-pidato resmi, ceramah ilmiah, perkuliahan, dan lain-lain. Ragam bahasa ringkas biasa disebut restricted, sedangkan ragam bahasa lengkap biasa pula disebut elaborate code.
Ragam Bahasa Lisan dan Ragam Bahasa Tulisan
Ragam bahasa lisan adalah satuan dasarnya bunyi bahas. Variasi ragam bahasa ini sifatnya lebih mudah dicerna dan dipahami serta dihayati oleh si pendengarnya, karena unsur-unsur nonkebahasaan dapat membantu dalam pengungkapan makna. Sedang ragam bahasa tulisan adalah satuan dasarnya berupa tulisan. Ragam bahasa ini sifatnya lebih sulit dicerna dan dipahami serta dihayati oleh si pembaca, hal ini disebabkan penutur dan pembaca terpisah sehingga unsur-unsur nonkebahasaan tidak dapat membantu dalam pengungkapan makna.
Hubungan antara ragam lisan dan ragam tulisan adalah timbal balik. Ragam tulisan melambangkan ragam lisan karena huruf melambangkan kesatuan-kesatuan dasar lisan, yaitu bunyi bahasa dalam bentuk yang dapat dilihat. Hubungan perlambangan antara kedua ragam bahasa itu tidak jarang menimbulkan kesan bahwa struktur lisan sama benar dengan struktur ragam tulisan. Namun dalam kenyataannya kedua ragam bahasa itu pada dasarnya berkembang menjadi dua sistem bahasa yang terdiri atas perangkat kaidah yang tidak seluruhnya sama. Ini berarti bahwa norma (kaidah) yang berlaku bagi ragam lisan belum tentu berlaku juga bagi ragam tulisan.
Ragam Bahasa Baku dan Ragam Bahasa Tak Baku
Ragam baku atau ragam bahasa resmi (formal). Variasi ragam bahasa ini mencerminkan kecendikiaan yang tidak dibuat-buat. Ia lebih dekat kepada bahasa percakapan tanpa kata-kata tertentu yang dalam bahasa percakapan dianggap bahasa biasa. Diksi formal (ilmiah) yang selalu dipergunakan dalam variasi dan ragam bahasa ini, sehingga menimbulkan kecendikiaan.
Diksi formal adalah jenis penggunaan bahasa pada peristiwa dan lingkungan yang resmi. Misalnya dalam lingkungan perdagangan, surat menyurat dinas, laporan instansi pemerintah, jurnalistik yang berwibawa, karya ilmiah, buku pelajaran, ceramah atau pidato. Masalah sopan santun yang dipakai sebagai ukuran, jelas tetap dipertahankan. Sedangkan ragam bahasa tak baku atau tak resmi (informal) sifatnya lebih lentur dibandingkan dengan ragam formal (resmi). Ragam ini biasa ditemukan dalam bentuk percakapan di kalangan kaum cendikiawan. Dalam bentuk tulisan, ragam ini lebih sesuai dengan hal-hal yang bersifat santai dan tidak menuntut tata cara resmi (formal) atau baku. (Fachruddin A.E., 1988: 117).
Ragam Bahasa Literer dan Ragam Bahasa Vernakuler
Disamping keenam variasi dan ragam bahasa diatas, juga masih terdapat ragam bahasa literer dan ragam bahasa vernakuler. Ragam bahasa literer merupakan tingkatan yang paling tinggi diantara ragam ragam bahasa yang ada. Diksi pada jenis ragam bahasa ini lebih mengarah pada keindahan, dibandingkan dengan jenis penggunaan bahasa yang lain. Kosakatanya sebahagian besar harus diperoleh dengan belajar dan beberapa diantaranya menimbulkan kesan yang agung bagi pembaca yang awam. Banyak diantara kata-katanya berasal dari lingkungan ilmu pengetahuan dan seni dengan nada anggun yang mengingatkan kita pada sifat ilmiah dan aktivitas sastra. Diksi literer condong untuk menjadi rapi dan sopan, sehingga hal-hal yang dapat menimbulkan kesan yang kasar dan rendah akan dihindari. Hal tersebut seharusnya tidak dipandang sebagai suatu hal yang kaku. Tetapi, suatu sikap yang lebih menunjukkan harga diri yang secara umum mencerminkan sikap kecendikiawan dan kehalusan.
Sedangkan ragam bahasa yang paling rendah tingkatannya ialah ragam bahasa vernakuler. Ragam bahasa ini biasanya dipakai dalam percakapan dikalangan orang-orang yang tidak terpelajar, sehingga sering menimbulkan kesan kurang tertib. Ragam ini tidak dipakai dikalangan kaum cendikiawan, karena sifatnya yang tidak eksak; sering terasa kurang logis dan miskin dalam hal kosakata sehingga dianggap tidak mampu melayani kebutuhan mereka. Memang ada kalanya terdapat juga ungkapan yang mempunyai daya ekspresi dan daya deskripsi yang tajam, tetapi hal yang demikian itu merupakan kekecualian. Satu-satunya keutamaannya yang dapat dimanfaatkan, ialah bila kita hendak melukiskan bentuk dialog pelaku cerita dari lingkungan masyarakat tertentu. (Fachruddin A.E., 1988: 116-118).
Uraian diatas ini hendaknya tidak menimbulkan kesan seakan-akan setiap ragam bahasa tersebut memiliki kosakata yang terpisah-pisah. Sebenarnya sejumlah besar kata yang ada dalam suatu bahasa terpakai pada semua jenis variasi dan ragam bahasa. Dan hanya sebagian kecil saja kata-kata yang mempunyai asosiasi khusus menjadi milik dan ciri khas ragam itu masing-masing. Biasanya ragam literer dan formal lebih terikat secara umum, dibandingkan dengan ragam informal dan vernakuler. Dua jenis ragam yang terakhir ini biasanya gemar akan kata-kata baru, kata-kata lokal dan singkatan-singkatan yang belum mantap dan besar kemungkinan tidak akan dapat bertahan lama.