Pada ORI penerbitan pertama yang berlaku mulai 30 Oktober 1946 tercantum tanggal emisi 17 Oktober 1945. Ini menunjukkan cukup panjangnya proses yang harus ditempuh dalam mempersiapkan penerbitan ORI sebagai salah satu identitas negara.
Tindakan pertama yang dilakukan pemerintah Indonesia sebelum mengedarkan ORI adalah menarik uang invasi Jepang dan uang Pemerintah Hindia Belanda dari peredaran. Penarikan kedua uang tersebut dilakukan berangsur-angsur melalui pembatasan pemakaian uang dan larangan membawa uang dari satu daerah ke daerah lain
Pembatasan larangan membawa uang tunai lebih dari Rp500 seorang atau Rp1.000 sekeluarga ke kota Jakarta dan Bogor, atau sebaliknya harus seizin Menteri Keuangan. Uang invasi Jepang dan uang NICA tidak boleh dikeluarkan dari dari Jawa dan Madura dan juga tidak boleh dimasukkan ke daerah-daerah di luar Jawa dan Madura[15]. Nilai ORI melalui Undang-Undang tanggal 25 Oktober 1946 ditetapkan 10 rupiah ORI = 5 gram emas murni, kurs ORI terhadap uang Jepang sebesar 1:50 untuk Pulau Jawa & Madura, dan 1:100 untuk daerah lainnya.
Penerbitan ORI selain ditujukan untuk menunjukkan kedaulatan Republik Indonesia juga bertujuan untuk menyehatkan ekonomi yang tengah dilanda inflasi hebat.
Peredaran Oeang Republik Indonesia (ORI) Pertama Kali
Pada awal beredarnya ORI, setiap penduduk diberi Rp1 sebagai pengganti sisa uang invasi Jepang yang masih dapat digunakan sampai dengan 16 Oktober 1946. Namun, pada saat itu peredaran ORI belum bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan selain faktor perhubungan, masalah keamanan juga berpengaruh karena sebagian wilayah Indonesia masih berada di bawah kedudukan Belanda.
Kedua hal ini menyebabkan pemerintah Indonesia kesulitan untuk menyatukan Indonesia sebagai satu kesatuan moneter. Bahkan, mulai tahun 1947 pemerintah terpaksa memberikan otoritas kepada daerah-daerah tertentu untuk mengeluarkan uangnya sendiri yang disebut Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA).
Uang tersebut bersifat sementara dan kebanyakan dinyatakan oleh penguasa setempat sebagai alat pembayaran yang hanya berlaku di tempat tertentu. Contohnya, ORIDABS-Banten, ORIPS-Sumatera, ORITA-Tapanuli, ORIPSU-Sumatera Utara, ORIBA-Banda Aceh, ORIN-Kabupaten Nias dan ORIAB-Kabupaten Labuhan Batu. Jenis ORIDA tersebut berupa bon, Surat Tanda Penerimaan Uang, Tanda Pembayaran Yang Sah dan ORIDA dalam bentuk Mandat.
Dalam kondisi perang, jumlah uang beredar di wilayah Republik Indonesia sulit dihitung dengan tepat. Kesulitan melakukan pemisahan data juga terjadi dalam memperkirakan indikator-indikator perekonomian lainnya, seperti neraca perdagangan, posisi cadangan devisa dan keuangan negara.
Jumlah peredaran ORI dan ORIDA pada 1946 sebesar Rp323 juta diperkirakan meningkat menjadi Rp6 milyar pada akhir 1949. Selain itu, penyebab kesulitan penghitungan lainnya adalah karena uang De Javasche Bank dan Pemerintah Hindia Belanda belum ditukarkan atau belum disimpan pada bank berdasarkan ketentuan Undang-Undang tanggal 1 Oktober 1946.
Pada tahun pembukuan 1949-1950, De Javasche Bank membuat data perkembangan uang beredar. Pada waktu itu deposito berjangka juga dihitung masuk dalam komponen uang giral. Penyusunan statistik uang beredar dilakukan dengan mengkonsolidasikan neraca De Javasche Bank dengan neraca dari tujuh bank komersial yaitu Nederlansche Handel Maatschappij, Nederlandsch Indische Handelsbank, Escomptobank, Chartered Bank of India, Australia and China, Hongkong and Shanghai Banking Corporation, Bank of China dan Overseas Chinese Banking Corporation.
ORI dan berbagai macam ORIDA hanya berlaku sampai 1 Januari 1950 dan dilanjutkan dengan penerbitan uang Republik Indonesia Serikat.
Berlakunya Uang Rupiah Republik Indonesia Serikat
Dari salah satu hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilakukan pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949, Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda pada 27 Desember 1949. Kemudian, dibentuk negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federaal Overlaag (BFO) atau Badan Permusyawaratan Federal yang lebih dikenal dengan negara boneka bentukan Belanda. Sebagai upaya untuk menyeragamkan uang di wilayah Republik Indonesia Serikat, pada 1 Januari 1950 Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara mengumumkan bahwa alat pembayaran yang sah adalah uang federal.
Menteri Keuangan diberi kuasa untuk mengeluarkan uang kertas yang memberikan hak piutang kepada pembawa uang terhadap RIS sejumlah dana yang tertulis pada uang tersebut dalam rupiah RIS. Undang-Undang Darurat tanggal 2 Juni 1950 yang mulai diberlakukan 31 Mei 1950 mengatur berbagai hal berbagai tentang pengeluaran uang kertas atas tanggungan Pemerintah RIS. Dengan pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia Serikat (RIS) tanggal 27 Desember 1949, berakhir pula masa perjuangan bersenjata melawan Belanda dalam rangka menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan.
Mulai 27 Maret 1950 telah dilakukan penukaran ORI dan ORIDA dengan uang baru yang diterbitkan dan diedarkan oleh De Javasche Bank. Sejalan dengan masa Pemerintah RIS yang berlangsung singkat, masa edar uang kertas RIS juga tidak lama, yaitu hingga 17 Agustus 1950 ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk kembali.
Undang-Undang Mata Uang 1951
Dari sudut moneter, keadaan kembali ke NKRI memungkinkan untuk menyatukan mata uang sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia. Secara hukum kesatuan moneter barulah terwujud setelah dikeluarkannya Undang-Undang Mata Uang 1951 untuk mengganti Indische Muntwet 1912.
Undang-Undang Mata Uang 1951 antara lain menyatakan:
- (i) Semua logam yang dikeluarkan berdasarkan Indische Muntwet dicabut mulai 3 November 1951, kecuali uang uang tembaga yang pencabutannya masih akan ditentukan oleh Menteri Keuangan.
- (ii) Satuan hitung dari uang di Indonesia adalah rupiah yang disingkat Rp dan terbagi menjadi 100 sen.
- (iii) Uang logam Indonesia yang merupakan alat pembayaran yang sah adalah dari nikel dalam pecahan 50 sen serta dari aluminium pecahan 25 sen, 10 sen, 5 sen dan 1 sen.
- (iv) Untuk memenuhi kebutuhan yang mungkin timbul pada suatu waktu, pemerintah dapat mengeluarkan kertas pecahan 1 rupiah dan 2,50 rupiah.
- (v) Pembuatan uang logam dan uang kertas pemerintah hanya dapat dilakukan oleh atau atas nama pemerintah.
- (vi) Menteri Keuangan menetapkan desain logam nikel dan alumni, kadar logam uang, berat dan ukuran garis tengah serta batas toleransinya.
- (vii) Di daerah-daerah tertentu dengan peraturan pemerintah dimungkinkan untuk sementara waktu dilakukan pembayaran dengan uang selain tersebut di atas.
Gunting Sjafruddin
Setelah masa RIS berakhir, perekonomian Indonesia yang terbuka menyebabkan situasi dalam negeri sangat mudah terpengaruh oleh gejolak perekonomian dunia. Pada awal pengakuan kedaulatan, terjadi devaluasi mata uang oleh beberapa negara Eropa Barat terhadap dolar Amerika Serikat dan pecahnya perang Korea. Di sisi lain, pemakaian devisa untuk impor belum meningkat.
Oleh karena itu, pemerintah mengambil kebijakan Gunting Sjafruddin yang bertujuan untuk menyedot uang beredar yang terlalu banyak serta menghasilkan pinjaman sekitar Rp1,5 milyar dari penerbitan Obligasi Republik Indonesia 1950 karena Indonesia belum mampu mencari sumber pembiayaan dari pasar. Pengguntingan dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan tanggal 19 Maret 1950 kepada uang kertas De Javasche Bank dan uang pendudukan Belanda atau uang NICA. Bersamaan dengan itu, pemerintah meluncurkan penerbitan Obligasi Republik Indonesia 1950 sebagai pinjaman pemerintah dengan bunga 3% yang ditawarkan untuk ditukarkan dengan guntingan uang kertas bagian kanan. Bagian kiri uang kertas di atas pecahan f2,50 diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Jadi, nilai uang yang berlaku hanya setengah dari nilai nominal.
Dalam jangka waktu yang telah ditentukan, bagian kiri uang dapat ditukar dengan uang baru yang diterbitkan De Javasche Bank dengan pecahan f2,50, f1 dan f0,50. Pengguntingan uang tersebut dilakukan karena cara yang lazim dilakukan, yaitu dengan penyetoran ke dalam rekening yang dibekukan tidak mungkin dijalankan di Indonesia.
Bank Indonesia sebagai Penerbit Tunggal Rupiah
Pada Desember 1951, De Javasche Bank dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral dengan UU No. 11 Tahun 1953 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1953. Sesuai dengan tanggal berlakunya Undang-Undang Pokok Bank Indonesia tahun 1953, maka tanggal 1 Juli 1953 diperingati sebagai hari lahir Bank Indonesia dimana Bank Indonesia menggantikan De Javasche Bank dan bertindak sebagai bank sentral.
Setelah Bank Indonesia berdiri pada tahun 1953, terdapat dua macam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia, yaitu uang yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (Kementerian Keuangan) dan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Pemerintah RI menerbitkan uang kertas dan logam pecahan di bawah Rp5, sedangkan Bank Indonesia menerbitkan uang kertas dalam pecahan Rp5 ke atas.
Hak tunggal Bank Indonesia untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sesuai Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 13 Tahun 1968 didasarkan pertimbangan antara uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Pemerintah secara ekonomi dipandang tidak ada perbedaan fungsional. Sehingga untuk keseragaman dan efisiensi pengeluaran uang cukup dilakukan oleh satu instansi saja yaitu Bank Indonesia.
Saat ini, uang rupiah memuat tanda tangan pemerintah dan Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pemerintah dalam Undang-Undang tersebut adalah Menteri Keuangan yang sedang menjabat pada saat uang tahun emisi 2016 terbit. Oleh karena itu, pada tanggal 19 Desember 2016, tanda tangan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati disertakan bersama dengan tanda tangan Gubernur Bank Indonesia Agus D.W Martowardojo di berbagai pecahan uang baru tersebut.
Sumber Referensi: Sejarah Oeang