V. Mathesius dan B. Harvanek, sarjana bahasa dari Cekoslowakia mengatakan, bahwa bahasa baku ditandai oleh stabilitas yang luwes dan intelektualisasi. Menurut sarjana tersebut, jika untuk berfungsi secara efisien, maka bahasa baku harus distabilkan dengan kodifikasi yang sedemikian luwesnya untuk memungkinkan penyesuaian dengan perubahan-perubahan kultural.
Intelektualisasi adalah tendensi ke arah pengungkapan yang lebih teliti, tepat, dan pasti. Atau, dengan kata lain, tendensi untuk memiliki tata bahasa dan perbendaharaan kata yang lebih sistematis serta perbendaharaan kata yang lebih eksplisit.
Berdasarkan teori sarjana di atas dapatlah dikemukakan bahwa bahasa Indonesia baku harus dibina dan direncanakan, karena memerlukan kodifikasi dan intelektualisasi.
Anton M. Moeliono dalam majalah Pengajaran Bahasa dan Sastra, No. 3 Tahun 1975 (Politik Bahasa Nasional, 2, tahun 1976) mengemukakan ciri-ciri bahasa Indonesia baku sebagai berikut: Bahasa baku perlu memiliki sifat kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang mantap. Tetapi kemantapan itu cukup terbuka untuk perubahan yang bersistem dibidang kosakata dan peristilahan, dan untuk perkembangan berjenis ragam dan gaya dibidang kalimat dan makna.
Selanjutnya, beliau mengemukakan pula bahwa ciri lain yang harus dimiliki bahasa baku yang modern adalah ciri kecendikiaan. Bahasa Indonesia harus mampu mengemukakan proses pemikiran yang rumit di berbagai bidang ilmu, teknologi, dan antarhubungan manusia, tanpa menghilangkan kodrat dan kepribadiannya.
Proses pencendikiaan ini amat penting untuk menampung aspirasi generasi muda yang menuntut taraf kemajuan yang lebih tinggi dan yang ingin mencari pengalaman hidup sebagai akibat perkenalannya dengan kebudayaan lain. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan kehidupan modern harus dapat dicapai melalui bahasa Indonesia. Orang yang ragu-ragu terhadap kemampuan bahasa Indonesia ini akan lari ke bahasa Inggris. Sebagai bahan perbandingan dapat diajukan situasi Jepang. Jepang tetap mempertahankan tata aksaranya (kanji, hiragan, dan kata kana) serta tingkat-tingkat bahasanya. Bahasa Jepang akhirnya mampu menjadi sarana penyalur pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan bahasa itu untuk menjadi bahasa yang modern.
Ciri Umum dan Ciri Khusus Bahasa Baku
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa baku ditandai oleh (1) ciri umum, dan (2) ciri khusus.
Ciri Umum Bahasa Indonesia Baku
Ciri umum bahasa baku, yaitu:
a. Stabilitas yang luwes
Setiap bahasa baku harus memiliki kodifikasi kaidah yang stabil tetapi luwes. Artinya ialah bahwa kaidah yang sudah stabil itu tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan, atau dengan kata lain bahwa bahasa baku harus memiliki kaidah yang mantap dan dinamis, yaitu bersifat terbuka untuk menerima perubahan yang bersistem, baik dalam kosakata, peristilahan maupun dalam bidang kalimat. Jadi, bukanlah kemantapan yang statis.
b. Intelektualisasi atau kecendikiaan ke arah pengungkapan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang termasuk teknologi modern.
Adapun bahasa Indonesia baku yang modern memungkinkan orang dapat memiliki ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang. Dengan demikian jelas, bahwa bahasa Indonesia baku yang modern akan melahirkan generasi muda ilmuwan yang terampil dan mampu berbahasa Indonesia baku. Perlu diingat bahwa bahasa Indonesia yang memiliki sifat kemantapan kaidah dan kecendikiaan dapat diwujudkan jika unsur-unsur bahasa asing, demikian pula bahasa daerah dapat diterima. Unsur tersebut yang dapat memperkaya pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia dengan jalan mengindonesiakannya terlebih dahulu sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia.
Ciri Khusus Bahasa Indonesia Baku
Selain ciri-ciri tersebut di atas, bahasa baku juga memiliki ciri khusus sesuai dengan kaidah dan sistem bahasa tersebut. Ciri-ciri khusus ini dapat dilihat, baik dalam hubungan makna maupun hubungan gramatika.