Di awal kemerdekaan, Indonesia menghadapi beberapa masalah diantaranya adalah datangnya tentara sekutu untuk menerima penyerahan kekuasaan dari Jepang karena kekosongan kekuasaan di Indonesia akibat kekalahan Jepang. Kedua, perundingan-perundingan dengan Belanda yang merugikan Indonesia. Kemudian, Belanda datang membonceng sekutu di akhir September 1945 dengan keinginan menguasai kembali negara jajahannya.

Pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945 menetapkan berlakunya mata uang bersama di wilayah Republik Indonesia (RI), yaitu uang De Javasche Bank, uang Hindia Belanda dan uang Jepang.

Di lingkup nasional, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara, dan mengangkat Presiden serta Wakil Presiden pada tanggal 18 Agustus 1945. Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945 PPKI menetapkan dua keputusan penting. Pertama, membentuk 12 kementerian dalam lingkungan pemerintahan, yaitu: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kehakiman, Kementerian Keuangan, Kementerian Kemakmuran, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pengajaran, Kementerian Sosial, Kementerian Pertahanan, Kementerian Penerangan, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Pekerjaan Umum. Kedua, membagi wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi yaitu: Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kelapa, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan.

Dikarenakan serbuan Belanda makin gencar ke Jakarta, Pemerintah Indonesia pindah ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Akibatnya Indonesia terpecah menjadi dua wilayah, yaitu wilayah yang dikuasai pemerintah Indonesia dan Belanda di bawah administrasi Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang membentuk negara-negara bagian yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overlaag (BFO) atau Badan Permusyawaratan Federal yang lebih dikenal dengan negara boneka bentukan Belanda.

Kementerian Keuangan

Di lingkungan Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan A.A Maramis pada tanggal 29 September 1945 mengeluarkan Dekrit dengan tiga keputusan penting. Pertama, tidak mengakui hal dan wewenang pejabat pemerintahan tentara Jepang untuk menerbitkan dan menandatangani surat-surat perintah membayar uang dan lain-lain dokumen yang berhubungan dengan pengeluaran negara. Kedua, terhitung mulai 29 September 1945, hak dan wewenang pejabat pemerintahan tentara Jepang diserahkan kepada Pembantu Bendahara Negara yang ditunjuk dan bertanggungjawab pada Menteri Keuangan. Ketiga, kantor-kantor kas negara dan semua instansi yang melakukan tugas kas negara (kantor pos) harus menolak pembayaran atas surat perintah membayar uang yang tidak ditandatangani oleh Pembantu Bendahara Negara.

Setelah dekrit ini diterbitkan, berakhirlah masa “Nanpo Gun Gunsei Kaikei Kitein” (Peraturan Perbendaharaan Pemerintah Bala Tentara Angkatan di Daerah Selatan) dan dimulailah babak baru pengurusan keuangan negara yang merdeka.

Pada masa itu, susunan pertama organisasi Kementerian Keuangan terdiri dari lima Penjabatan (Eselon I) yang terdiri dari:

Penjabatan Umum dipimpin oleh M. Saubari, membawahi urusan:

  • Urusan Kepegawaian
  • Urusan Perbendaharaan
  • Urusan Umum dan Rumah Tangga

Pejabat Keuangan dipimpin oleh Achmad Natanegara dan Wakil Kepala R. Kadarisman Notopradjarto, membawahi urusan:

  • Urusan Angaran Negara
  • Urusan Perbendaharaan dan Kas
  • Urusan uang, Bank dan Kredit

Penjabatan Pajak, dipimpin oleh Soetikno Slamet dibantu oleh H.A Pandelaki dan R.Soemarsono Moenthalib, membawahi urusan:

  • Urusan Perpajakan
  • Urusan Bea dan Cukai
  • Urusan Pajak Bumi

Penjabatan Resi Candu dan Garam, dipimpin oleh Moekarto Notowidagdo dengan Wakil Kepala R. Soewahjo Darmosoekoro.

Penjabatan Pegadaian yang berdiri sendiri, dipimpin oleh R. Hendarsin.

Pada 2 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah Republik Indonesia yang menetapkan bahwa uang NICA tidak berlaku di wilayah Republik Indonesia. Kemudian Maklumat Presiden Republik Indonesia 3 Oktober 1945 yang menentukan jenis-jenis uang yang sementara masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Saat itu, Indonesia memiliki empat mata uang yang sah.

Pertama, sisa zaman kolonial Belanda yaitu uang kertas De Javasche Bank. Kedua, uang kertas dan logam pemerintah Hindia Belanda yang telah disiapkan Jepang sebelum menguasai Indonesia yaitu DeJapansche Regering dengan satuan gulden (f) yang dikeluarkan tahun 1942. Ketiga, uang kertas pendudukan Jepang yang menggunakan Bahasa Indonesia yaitu Dai Nippon emisi 1943 dengan pecahan bernilai 100 rupiah. Keempat, Dai Nippon Teikoku Seibu, emisi 1943 bergambar Wayang Orang Satria Gatot Kaca bernilai 10 rupiah dan gambar Rumah Gadang Minang bernilai 5 rupiah.

Bersamaan dengan dikeluarkannya maklumat tersebut, pemerintah berencana menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI). Menteri Keuangan A.A Maramis membentuk “Panitia Penyelenggara pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia” pada 7 November 1945 yang diketuai T.R.B. Sabaroedin dari Kantor Besar Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan anggota-anggotanya terdiri dari Kementerian Keuangan yaitu H.A. Pandelaki & R. Aboebakar Winagoen dan E. Kusnadi, Kementerian Penerangan yaitu M. Tabrani, BRI yaitu S. Sugiono, dan wakil-wakil dari Serikat Buruh Percetakan yaitu Oesman dan Aoes Soerjatna.

Tim Serikat Buruh Percetakan G. Kolff di Jakarta selaku tim pencari data, mencari percetakan dengan teknologi yang relatif modern di Jakarta mengusulkan G. Kolff di Jakarta dan percetakan Nederlandsch Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Malang sebagai calon percetakan yang memenuhi persyaratan.

Sebagai pembuat desain dan bahan-bahan induk (master) berupa negatif kaca dipercayakan kepada percetakan Balai Pustaka Jakarta. Kerja yang rumit ini dilakukan oleh Bunyamin Suryohardjo, sedangkan pelukis pertama Oeang Republik Indonesia (ORI) adalah Abdulsalam dan Soerono. Proses pencetakan berupa cetak offset dilakukan di Percetakan Republik Indonesia, Salemba, Jakarta yang berada di bawah Kementerian Penerangan.

Pencetakan ORI dikerjakan setiap hari dari jam 7 pagi sampai jam 10 malam dari Januari 1946. Namun, pada Mei 1946, situasi keamanan mengharuskan pencetakan ORI di Jakarta dihentikan dan terpaksa dipindahkan ke daerah-daerah seperti Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo. Hal ini yang menyebabkan, ketika ORI pertama kali beredar pada 30 Oktober 1946 yang bertandatangan di atas ORI adalah A.A Maramis meskipun sejak November 1945 ia tidak lagi menjabat sebagai Menteri Keuangan. Pada waktu ORI beredar yang menjadi Menteri Keuangan adalah Sjafruddin Prawiranegara di bawah Kabinet Sjahrir III.

Melalui Keputusan Menteri Keuangan tanggal 29 Oktober 1946 ditetapkan berlakunya ORI secara sah mulai 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Undang-Undang tanggal 1 Oktober 1946 menetapkan penerbitan ORI. Pada detik-detik diluncurkankannya ORI, Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan pidatonya pada 29 Oktober 1946 melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta yang menggelorakan semangat bangsa Indonesia sebagai negara berdaulat dengan diterbitkannya mata uang ORI.

“Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak laku lagi. Beserta uang Jepang itu ikut pula tidak laku uang Javasche Bank. Dengan ini, tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita. Uang sendiri itu adalah tanda kemerdekaan Negara”.

Usaha penerbitan uang sendiri memperlihatkan hasil dengan diterbitkannya Emisi Pertama uang kertas ORI pada 30 Oktober 1946. Pemerintah Indonesia menyatakan tanggal tersebut sebagai tanggal beredarnya ORI. ORI pun diterima dengan perasaan bangga oleh seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya, 30 Oktober disahkan sebagai Hari Oeang Republik Indonesia oleh Presiden, berdasarkan lahirnya emisi pertama ORI.

Sumber Referensi: Sejarah Oeang Republik Indonesia – Kementerian Keuangan